MENUNTUT ILMU JALAN MENUJU SURGA

Hasil gambar untuk kitab ulama salafOleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’: 1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah…
Selayaknyalah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala nikmat yag Allah karuniakan kepada kita yang semua itu wajib untuk kita syukuri. Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyaki, tidak dapat dan tidak akan dapat kita hitung. Maka kewajiban seorang Muslim dan Muslimah adalah mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Di antaranya adalah nikmat Islam, nikmat iman, nikmat sehat, nikmat rizki, dan lainnya yang Allah berikan kepada kita.

Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Seandainya kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.

Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.

Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]

Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar tentang Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.

Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.

Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]

Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]

Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.

1. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]

Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:

Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.

Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4]

2. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]

Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.

“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.

Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•

Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.

“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]

Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an dan As-Sunnah di rumah mereka.

Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]

Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.

Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.

3. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.

“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [7]

‘Atha’ bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah, cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]

Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.

Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan yang benar.

Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahumullaah.

Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai kitab para ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi panduan agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan jalan kita untuk memasuki Surga-Nya. Aamiin.

Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari Kiamat.

[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).

Read more https://almanhaj.or.id/2307-menuntut-ilmu-jalan-menuju-surga.html

Share:

Menuntut Ilmu, Jalan Paling Cepat Menuju Surga

Hasil gambar untuk pentingnya membaca kitab ulamaKalau kita ingin masuk surga dengan cara paling cepat, cobalah menuntut ilmu agama.

 Kembali pada hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699)

Makna Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga, ada empat makna sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali:

Pertama: Dengan menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkannya masuk surga.

Kedua: Menuntut ilmu adalah sebab seseorang mendapatkan hidayah. Hidayah inilah yang mengantarkan seseorang pada surga.

Ketiga: Menuntut suatu ilmu akan mengantarkan pada ilmu lainnya yang dengan ilmu tersebut akan mengantarkan pada surga.

Sebagaimana kata sebagian ulama kala suatu ilmu diamalkan,

مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ أَوْرَثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Siapa yang mengamalkan suatu ilmu yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak ia ketahui.”

Sebagaimana kata ulama lainnya,

ثَوَابُ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا

“Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.”

Begitu juga dalam ayat disebutkan,

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.” (QS. Maryam: 76)

Juga pada firman Allah,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآَتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketaqwaannya.” (QS. Muhammad: 17)

Keempat: Dengan ilmu, Allah akan memudahkan jalan yang nyata menuju surga yaitu saat melewati shirath (sesuatu yang terbentang di atas neraka menuju surga.

Sampai-sampai Ibnu Rajab simpulkan, menuntut ilmu adalah jalan paling ringkas menuju surga. (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 297-298)

Semoga dengan ilmu agama, kita dimudahkan untuk masuk surga.

Referensi:

Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.


Jum’at, 8 Safar 1437 H, 05: 31 PM, @ Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang

Muhammad Abduh Tuasikal

Join Channel Telegram, Twitter, Instagram: @RumayshoCom

Ingin tahu selengkapnya.
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/12363-menuntut-ilmu-jalan-paling-cepat-menuju-surga.html

Share:

Mengobarkan Semangat Untuk Mengumpulkan Kitab Para Ulama (2)

Hasil gambar untuk pentingnya membaca kitab ulamaMengumpulkan Kitab: Bahan Bakar untuk Mengobarkan Api Semangat Menuntut Ilmu Syar’i

Sudah selayaknya bagi kita agar memiliki perhatian terhadap kitab-kitab para ulama terdahulu. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Sudah selayaknya bagi penuntut ilmu untuk memperhatikan hal ini, yaitu mengumpulkan kitab. Akan tetapi, hendaklah memulainya dari kitab yang paling penting kemudian yang penting berikutnya. Jika tidak memiliki banyak uang, bukanlah suatu hal yang bijaksana jika membeli kitab yang sangat banyak dengan cara berhutang. Karena hal ini termasuk membelanjakan uang di jalan yang kurang baik. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan kepada seseorang yang hendak menikah namun tidak punya uang agar dia berhutang. Bersemangatlah untuk memiliki kitab-kitab pokok yang paling penting, bukan kitab yang ditulis oleh orang pada zaman sekarang. Karena sebagian penulis pada zaman sekarang ini tidaklah memiliki ilmu yang mendalam. Oleh karena itu, jika Engkau membaca kitab, Engkau akan menemukan pembahasan yang mengambang. Terkadang penulis hanya menukil saja dari kitab yang lain. Terkadang pula menjelaskannya dengan ungkapan yang panjang lebar, namun kurang ada manfaatnya. Oleh karena itu, perhatikanlah kitab-kitab yang penting. Bersemangatlah untuk mencari kitab-kitab pokok yang ditulis para salaf (ulama terdahulu). Karena sesungguhnya ada lebih banyak kebaikan dan berkah daripada kitab yang ditulis orang-orang khalaf (zaman sekarang ini, pen.).” [1]

Mengumpulkan sebanyak mungkin kitab syar’i yang bermanfaat dan bersemangat untuk mengumpulkannya merupakan sarana yang dapat membantu kita untuk membakar dan mengobarkan api semangat menuntut ilmu syar’i. Hal ini disebabkan:

    Jika seseorang mengumpulkan kitab dan menyusunnya dalam perpustakaan rumah atau ruangan khusus di rumahnya, maka ketika dia memandang deretan buku-buku tersebut yang telah dicetak dengan cetakan yang indah dan menarik, pastilah tergerak motivasinya untuk membaca sebagian buku tersebut walaupun sejenak saja. Karena ketika dia memandang kitab-kitab itu, dia akan teringat dengan kesungguhan yang dicurahkan oleh para ulama salaf dalam menulis, menyusun, dan mengumpulkan kitab-kitab tersebut. Dia juga akan teringat dengan berbagai kesulitan yang dihadapi dalam menulisnya. Saat itulah dia akan membandingkan dengan keadaan dirinya sendiri, “Wahai jiwaku, apa yang telah Engkau perbuat? Apa yang telah Engkau persembahkan?”
    Ketika dia melihat kitab-kitab yang banyak di perpustakaannya dan belum terbaca, dia akan bertanya pada dirinya,“Sampai kapan aku mengumpulkan kitab dan tidak membacanya?” Kemudian mencela dirinya,“Wahai jiwaku, bukanlah suatu aib dalam mengumpulkan banyak kitab. Bahkan hal itu sesuatu yang sangat terpuji dan memiliki banyak keutamaan. Namun, yang menjadi aib adalah ketika Engkau meninggalkan untuk membacanya. Maka sadarlah dari kelalaianmu dan bangunlah dari tidurmu!”
    Terkadang seseorang mengalami kesusahan, kegelisahan, dan kesedihan sehingga mendorong dirinya untuk melakukan apa saja agar bisa melupakannya. Sehingga ketika dia melihat kitab yang tersusun di perpustakaannya, dia akan mengambil kitab yang dapat diraih oleh jangkauan tangannya untuk dibaca. Terkadang, tidaklah dia meninggalkan kitab itu sampai menyelesaikannya.
    Menginfakkan harta untuk membeli dan mengumpulkan kitab adalah amal kebaikan. Sehingga orang tersebut diberi pahala di dunia dan dia akan memperoleh manfaat setelah dia meninggal dan berada di dalam kuburnya. Ketika dia mewasiatkan kitab-kitab itu bagi orang yang mau mengambil manfaat darinya atau mewakafkannya kepada lembaga-lembaga keislaman, masjid, atau perpustakaan umum, maka tentu ini adalah kebaikan yang sangat besar. [2]

Semangat para Ulama dalam Mengumpulkan Kitab

Demikianlah, para ulama salaf sangat menyadari pentingnya mengumpulkan kitab. Kita temukan pada diri mereka semangat yang tinggi untuk membeli kitab.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam biografi Ibnul Qayyim rahimahullah, “Beliau (Ibnul Qayyim) sangat gemar mengumpulkan kitab sehingga beliau  memiliki kitab yang tidak terhingga banyaknya. Sampai-sampai anaknya menjual kitab-kitab itu setelah beliau meninggal dalam kurun waktu yang lama, kecuali kitab-kitab yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri.” [3]

Imam Al-Mundziri rahimahullah berkata, “Al-Hafidz As-Silafi rahimahullahu adalah orang yang sangat gemar mengumpulkan kitab. Setiap kali memiliki uang, beliau akan menggunakannya untuk membeli kitab. Beliau memiliki koleksi kitab yang tidak ada habis-habisnya apabila dipandang.” [4]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam biografi Al-Qadhi Abdurrahim bin Ali Al-Lukhai rahimahullah,”Telah sampai berita kepada kami bahwa beliau memiliki kitab sampai 100.000 jilid. Beliau mengumpulkannya dari seluruh pelosok negeri.” [5]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam biografi Muhammad bin Abdullah As-Sulami Al-Marsi rahimahullah,”Menulis, membaca, dan mengumpulkan banyak kitab yang berharga. Harta beliau digunakan untuk membeli kitab.” [6]

Inilah beberapa contoh keteladanan para ulama salaf kita dalam mengumpulkan kitab atau buku-buku agama yang bermanfaat. Semoga dapat memberikan teladan bagi kita tentang bagaimanakah semangat para ulama salaf dalam membelanjakan harta demi menuntut ilmu syar’i. Marilah kita berlomba-lomba mencari kebahagiaan menuntut ilmu syar’i dengan menelaah kitab para ulama dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab. [Selesai]


Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.Or.Id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24240-mengobarkan-semangat-untuk-mengumpulkan-kitab-para-ulama-2.html

Share:

Beginilah Cara Mempelajari Kitab Para Ulama (1)

Hasil gambar untuk pentingnya membaca kitab ulamaSebagian orang ada yang berusaha menjatuhkan kehormatan ulama dengan mencela dan merendahkan mereka, bahkan ada pula golongan yang menyamalkan diri mereka dengan ulama, sehingga dengan ringan hati mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang “megah” dalam urusan agama untuk membantah fatwa-fatwa ulama Ahlus Sunnah dan merendahkannya, padahal pernyataan-pernyataan tersebut lebih rapuh dari sarang laba-laba. Sampaikan kepada mereka “ulama itu kedudukan ilmiyah yang sangat tinggi, tidak mudah menjadi ulama. Sungguh jauh berbeda antara Anda dengan mereka, bercerminlah”.

Di sisi lain, sebagian dari penuntut Ilmu yang telah mendapatkan hidayah sunnah dan memiliki semangat mempelajari berbagai kitab ulama pun ada yang merasakan hal seperti ini,

“Tahunan sudah saya mengikuti kajian dari daurah ke daurah dan banyak sudah kitab-kitab ulama yang telah saya baca, namun saya merasa seolah-olah ‘tidak punya apa-apa’, tidak menguasai kaidah-kaidah dasar yang kokoh, tidak bisa menganalisa sebuah masalah ilmiyah dengan baik, dan tidak mampu memahami apalagi membahas masalah-masalah yang pelik!”. Suatu pertanyaan yang layak dijadikan renungan: “Sudah benarkah cara belajarnya?
Menuntut ilmu syar’i Adalah Jalan yang Panjang

Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh hafizhahullah mengatakan, “Menuntut Ilmu syar’i adalah jalan yang panjang, tidaklah terwujud dengan baik kecuali dengan meninggalkan perkara yang sia-sia lagi melalaikan, serta meninggalkan mengikuti kesenangan syahwat belaka. Di samping itu, juga harus melakukannya dengan bersungguh-sunguh ”. Mengapa demikian?Karena Allah Yang Maha Mengetahui tentang wahyu-Nya telah mensifati wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ucapan yang berat,

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat” (QAl-Muzzammil: 5).

Hal yang dimaksud dengan Ucapan yang berat di sini adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Oleh sebab itu, ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang suatu masalah, beliau tidak menjawabnya, lalu ada yang berkata, “Ini masalah yang enteng atau masalah yang sepele”, sang Imam pun menjawab, “Jangan Anda katakan seperti itu! Karena (sesungguhnya) tidak ada satupun dari ilmu syar’i ini, -baik permasalahan kecil maupun yang besar- layak dikatakan sepele atau enteng, karena Allah Jalla wa ‘alaa mensifatinya dengan (perkataan yang) berat {إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا }”.

Ucapan Imam Malik rahimahullah adalah ucapan yang mendalam dan sarat makna.

Hal ini adalah tingkatan pertama dari tangga menuntut ilmu bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh menyepelekan dan menggampangkan ilmu, walaupun seandainya masalah yang dibahas benar-benar perkara yang mudah dipahami. Bukan berarti tidak ada sebagian dari ilmu syar’i yang lebih mudah dipahami daripada sebagian yang lainnya.Namun maksudnya, walaupun suatu materi ilmu itu mudah, tetap tidak layak untuk disepelekan.Mengapa?

Seorang penutut ilmu syar’i, tidaklah dikatakan menguasai ilmu syar’i  dengan baik dan tidaklah dikatakan memiliki ilmu yang mapan kecuali dengan memberikan perhatian yang besar terhadap semua masalah ilmiyah, baik yang kecil maupun yang besar, baik terkait dengan aktifitas memahami dan memperolehnya, menghafal maupun mengulang-ulangnya, mendalamkan dan mengokohkannya dalam hati serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu adalah perkara yang berat.Ada sebuah kata Mutiara yang terbukti dalam kenyataan dan menarik untuk kita simak

العلم إنْ أعطيته كلّك أعطاك بعضه، وإنْ أعطيته بعضك لم تدرك منه شيئا

Ciri khas ilmu syar’i itu, seandainya Anda telah memberikan pengorbanan semua yang Anda miliki, maka ilmu tersebut hanyalah akan memberikan kepadamu sebagiannya saja, namun jika Anda memberikan pengorbanan sebagian saja untuk memperolehnya, maka Anda tidak akan mendapatkan apa-apa darinya” .
Seorang Penuntut Ilmu Haruslah Memiliki Metodologi dalam Belajar

Ya, metodologi (manhaj) yang benar dalam menuntut ilmu syar’i dan membaca kitab-kitab ulama haruslah dimiliki oleh setiap penuntut ilmu syar’i karena jika ia sampai tidak memilikinya, maka bisa luntur semangatnya, bosan dan bahkan ia bisa berhenti di tengah jalan.

Telah berlalu sekian tahun lamanya ia belajar ilmu-ilmu syari’at ini, namun ia dapati dirinya seolah-olah masih seperti yang dulu, awam atau berstatus ”banyak baca kitab” saja, walaupun hanya pendahuluan, daftar isi, dan beberapa bab secara sekilas.

Akhirnya, pengetahuannya setengah-setengah, tidak menguasai kaidah-kaidah dasarnya, tidak paham inti masalahnya, lebih tidak paham lagi masalah perinciannya dan perkara-perkara yang sulit karena yang ia dapatkan selama ini tidak lebih dari sekedar wawasan dan bukan ilmu yang kokoh dan mapan.
Tiga Kunci Mendasar Sukses Menuntut Ilmu Syar’i

Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari dulu sampai sekarang memiliki tiga kiat sukses mendasar dalam menguasai ilmu syar’i, sehingga mereka berhasil menjadi para ulama, Aimmatul Huda (para Imam yang mengajarkan petunjuk Allah), dengan taufik dari Allah Ta’ala.

Ketiga prinsip ini termasuk penyebab terbesar didapatkannya taufik dan pertolongan Allah, sehingga mereka mendapatkan anugerah menjadi para ulama rabbaniyin.
1. Ikhlas

Seorang penuntut ilmu syar’i  haruslah ikhlas dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, sehingga Dia berkenan memasukkannya ke dalam surga-Nya.Menuntut ilmu syar’iadalah ibadah yang agung, tidaklah akan diterima dan diberkahi oleh Allah kecuali dengan keikhlasan, bukan bertujuan untuk mendapatkan perhiasan dunia berupa harta, tahta, wanita, pujian maupun yang lainnya.

Seorang penuntut ilmu syar’i tidaklah belajar dengan niat mengincar profesi guru, penceramah, maupun ustadz terkenal, namun ia belajar agama Islam ini semata-mata dalam rangka beribadah kepada Rabbnya semata, agar bisa beribadah dan beragama dengan benar (baca: berilmu dan beramal), dan ingin agar orang lain bisa beribadah dan beragama dengan benar pula (baca: berdakwah). Bukan profesi, gaji, dan popularitas yang menjadi tujuannya, namun ilmu, amal dan dakwah yang ia inginkan, inilah profil penuntut ilmu yang ikhlas, mencari keridhaan dan kecintaan Allah, serta mencari surga-Nya.

Hal inilah yang dimaksud oleh Imam Ahmad rahimahullah dalam perkataannya,

العـلم لا يـعـدله شـيء لمن صحّـت نيـتـه ،قيل: وكيف تصح نيته؟  قال: ينـوي أن يرفع الجهل عن نفسه وعن غيره

“Ilmu (syari’at) itu tidak ada sesuatu yang bisa menyaingi keutamaannya, bagi orang yang benar niatnya. Ada yang bertanya, “Bagaimana niatnya bisa benar?” Beliau menjawab, “Hendaklah ia berniat menghilangkan kebodohan (tentang agama Islam ini) dari dirinya dan dari orang lain”.

Maksud beliau niat yang benar dalam menuntut ilmu syar’i adalah berilmu agar bisa beramal dan beribadah dengan benar serta untuk berdakwah kepada orang lain agar mereka pun bisa beribadah dengan benar. Intinya adalah berilmu, beramal, dan berdakwah.
2. Cara menuntut Ilmu Syar’i yang Sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam

Niat yang benar (baca : Ikhlas) semata tidaklah cukup, haruslah ditambah dengan cara yang benar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, barulah ketika terkumpul kedua perkara ini, maka aktifitas ibadah diterima oleh Allah. Di antara cara yang paling penting dalam menuntut ilmu syar’i adalah Ar-Rifqu (lembut, tidak terburu-buru, tapi bertahap).

Mengapa demikian?Karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menerangkan kepada kita kabar yang umum,

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه

“Sesungguhnya tidaklah kelembutan ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut (hilang) dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek” (HR. Muslim no. 2594).

Maksud dari “sesuatu” disini umum, termasuk juga didalamnya adalah aktifitas menuntut ilmu syar’i.

Demikian pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,

إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut, mencintai kelembutan dalam seluruh perkara” (HR. Bukhari dan Muslim). sabda beliau (في الأمر كله) mencakup seluruh perkara, termasuk didalamnya menuntut ilmu syar’i.
3. Ar-Rifqu  dalam menuntut Ilmu Syar’i

Bagaimana bentuknya? Ulama menjelaskan tentang Ar-Rifqu, maknanya adalah berhati-hati, teliti, tidak terburu-buru, dan bertahap dalam setiap urusan, lawannya adalah mengambil sesuatu (langkah/keputusan/aktifitas) dengan kasar dan terburu-buru.

Dalam menuntut ilmu syar’i, bentuk Ar-Rifqu adalah menuntut ilmu syar’i secara bertahap, tidak sekaligus dan tidak langsung belajar secara luas, mendetail, dan mendalam, namun ia mempelajari dasar-dasar berbagai disiplin ilmu yang ringkas terlebih dahulu lalu meningkat ke ilmu lanjutan yang menengah, dan selanjutnya meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi, demikian seterusnya sesuai dengan apa yang dimudahkan oleh Allah baginya.Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh seorang imam Tabi’in yang terkenal, Syihab Az-Zuhri,

من رام العلم جملة ذهب عنه جملة وإنّما العلم يطلب على مرّ الأيام واللّيالي

“Barangsiapa yang mencari ilmu sekaligus (semuanya atau mayoritasnya), maka akan lenyaplah ilmu tersebut sekaligus pula. Sesungguhnya ilmu syar’i hanya bisa dipelajari dengan baik jika menghabiskan waktu siang dan malam (dalam waktu yang panjang) ” .

Menguasai ilmu syar’i dengan baik, mendalam, luas, detail, dan kokoh itu membutuhkan waktu yang panjang, harus bertahap selama bertahun-tahun, tidak bisa hanya dalam waktu yang singkat. Barangsiapa yang coba-coba mempelajarinya langsung mendalam, luas, dan detail dalam waktu singkat, biasanya ia tidak akan bisa menguasainya dengan baik sehingga seolah-olah ia seperti tidak pernah belajar sama sekali atau bahkan benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ilmu tersebut.

Adapun tentang bagaimana contoh-contoh Ar-Rifqu dalam menuntut ilmu syar’i, insya allah akan berlanjut pada artikelCara Mempelajari Kitab-Kitab Ulama (bag.2).

 

(Diolah dari transkrip muhadharah Syaikh ShalIh Alu Asy Syaikh hafizhahullah di web resmi beliau: Manhajiyyah fi Thalabil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/31 & Al-Manhajiyyah fi qiraa`ati kutubi Ahlil ‘Ilmi, dari http://saleh.af.org.sa/node/28)


Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.Or.Id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/24509-beginilah-cara-mempelajari-kitab-para-ulama-1.html

Share:

*Menolong Seorang Muslim, adalah Amal Shalih yang Sangat Agung*

Hasil gambar untuk padang pasir
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال،قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ، يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ

Barangsiapa melepaskan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan orang yang kesulitan, Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat, dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama hamba tersebut menolong saudaranya.
Dan barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu agama, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga dengan ilmu tersebut , dan tidaklah ada satu kaum yang berkumpul di rumah Allah; membaca kitab Allah dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, dicurahkan kepada mereka rahmat, malaikat meliputi mereka dan Allah menyebut mereka di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya.


Barangsiapa yang lambat amalannya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya.? [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

*Pelajaran yang terdapat dalam hadits:*

1- Allah memerintahkan kita untuk meringankan beban orang lain, dan Dia berjanji akan meringankan beban kita.
2- Allah memerintahkan kita untuk tidak memberikan kesulitan kepada orang lain, maka Allah tidak akan mempersulit kita pada hari kiamat.
3- Allah memerintahkan kita untuk menutup aib orang lain, maka Allah pun akan menutup aib kita (menjaga kehormatan kita).
4- Allah akan senantiasa menolong seseorang selama dia mau membantu saudaranya (orang lain).
5- Hadits yang mulia ini juga menerangkan keutamaan ilmu dan penuntut ilmu, serta hubungannya yang sangat erat dengan iman dan kasih sayang terhadap kaum mukminin.
6- Peringatan untuk tidak tertipu dengan kemuliaan nasab dan kehebatan nenek moyang, karena yang meninggikan derajat seseorang adalah amal-amal shalihnya sendiri, bukan karena nasab dan keturunan.

*Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran:*

1- Kewajiban menjaga dan menguatkan persaudaraan antara kaum mukminin dengan saling memperhatikan dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat: 10]

2- Kebaikan orang yang menuntut ilmu.

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[Surat Al-Mujadilah 11]

3- Barangsiapa yang lambat amalannya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya”, maknanya adalah, amalanlah yang dapat mengantarkan seseorang meraih ketinggian derajat di akhirat,

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan apa yang dikerjakannya.” (Al-An’am: 132)

4- Allah ta’ala menetapkan adanya balasan karena amalan, bukan karena nasab, sebagaimana firman-Nya,

فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلَا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلَا يَتَسَاءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (Al-Mukminun: 101).

===============================

www.bit.ly/daftarhadits

Share:

*Do'a Menjauhkan Diri dari Murka Allah*

Hasil gambar untuk doa menjauhkan dari murka allahعن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إنه من لم يسأل الله يغضب عليه

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda:”Barangsiapa yang tidak mau meminta kepada Allah maka Allah murka padanya”. (HR. Bukhari)

*Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:*

1- Berdo’a Hanya kepada Allah.
Do’a termasuk salah satu tugas agama yang sangat penting dan berkedudukan sangat mulia.
2- Do’a pun bisa dipandang sebagai pintu yang besar di antara pintu-pintu ibadat yang lain, dalam memperhambakan diri kepada Allah dan memperlihatkan ketundukkan jiwa kepada-Nya.
3- Tidak mengherankan jika ada hadits yang menyatakan:

الدعاء مخ العبادة (رواه الترمذي)



“Do’a itu, adalah otaknya ibadat.”  (HR. Turmudzi)

Do’a dipandang sebagai otaknya ibadat karena ia merupakan bentuk ibadat yang jelas sekali memperlihatkan unsur perhambaan kepada Allah dan sangat berhajatnya hamba kepada-Nya, sehingga terwujudlah posisi bahwa Allah adalah tempat meminta dan tempat memohon, sedangkan si hamba adalah makhluk yang hina dina dan selalu dalam kekurangan.
4- Dengan demikian, sangatlah tidak layak jika  seorang hamba menghadapkan do’anya  kepada selain Allah maka sudah sepantasnya Allah murka kepadanya.

*Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran:*

1- Sangatlah tidak layak jika  seorang hamba menghadapkan do’anya  kepada selain Allah.

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۖ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِين

“Dan janganlah kamu mendo’a kepada selain Allah, yaitu sesuatu yang tidak dapat mendatangkan manfa’at kepadamu dan tidak pula mendatangkan mudlarat; maka jika engkau perbuat juga, sesungguhnya engkau kalau begitu termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri.” (Q.S. Yunus:106)

2- Sayang sekali, sebagian manusia telah lupa tentang kedudukan do’a sebagai otak ibadat. Oleh karena itu, tidaklah mengherangkan apabila banyak di antara hamba Allah Swt. yang telah sesat, yakni menghadapkan do’a kepada selain Allah untuk memenuhi hajat mereka.

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ ۖ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ ۚ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudlaratan kepada engkau, maka pastilah tiada seseorangpun yang  sanggup menghilangkannya kecuali Dia sendiri, dan jika dicurahkan-Nya sesuatu kebijakan kepada engkau, maka tidak pula seseorangpun yang dapat menghambat kurnia yang dilimpahkan-Nya itu; Maka ditimpakan-Nya kemudlaratan dan kurnia itu kepada siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dia, Mahapengampun lagi Mahapengasih.”(Q.S.Yunus: 107).

===============================
Untuk mendapatkan broadcast One Day One Hadits silakan daftar dengan klik link dibawah. Isi nama dan alamat selanjutnya klik kirim.
www.bit.ly/daftarhadits

Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages