Kitab Sifat Puasa Rasulullah

Sifat Puasa Nabi - Toko Buku Muslim Jogja | Toko Buku Sunnah ...Sifat Puasa Rasulullah
1. Makan sahur.
Sahur merupakan sunnah yang muakkad (ditekankan), karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan umatnya untuk makan sahur, beliau bersabda;

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ
“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya pada makan sahur itu terdapat keberkahan!”
(HR. Imam Bukhari, no.1923)

Hendaklah seseorang yang akan berpuasa berniat mengikuti perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan makan sahur, sekaligus untuk memperkuat puasanya di siang hari. Dan praktik makan sahur yang sesuai dengan sunnah Rasulullah adalah dengan mengakhirkan waktu makan sahurnya.

Sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhu berkata;

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً
“Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu beliau berangkat menunaikan shalat, maka aku bertanya: Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? beliau menjawab: Sekitar waktu yang cukup untuk membaca 50 ayat.”
(HR. Imam Bukhari, no.1921)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hadits tersebut;
“Ketika memperkuat badan untuk berpuasa dan menjaga semangat beraktivitas di dalamnya termasuk tujuan makan sahur, maka termasuk hikmah adalah mengakhirkannya. Dalam hadits yang mulia di atas dijelaskan jarak waktu mulai makan sahur dengan adzan shalat Shubuh adalah seukuran orang membaca 50 ayat secara sedang, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
(Tanbihu Al-Afham, 3:39)

Dengan demikian ketentuan imsak yakni menahan diri dari makan dan minum beberapa saat sebelum terbitnya fajar (Shubuh) yang saat ini dikumandangkan adalah perkara yang diada-adakan (bidah) oleh sebagian umat Islam dan jelas menyelisihi firman Allah azza wa jalla.

Sebagaimana Allah berfirman;

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan-minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
(Surat Al-Baqarah: ayat 187)

Ternyata istilah imsak tersebut menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kebiasaan para Sahabatnya radhiyallahu anhum. Para Ulama telah menegaskan bahwa hal tersebut termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama, walau pun dilakukan dengan alasan kehati-hatian dan menjaga diri dari perkara yang haram.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan;
“Termasuk kebidahan yang munkar adalah yang terjadi di zaman ini berupa dikumandangkannya adzan kedua (yaitu) 20 menit sebelum fajar di bulan Ramadhan dan memadamkan pelita-pelita yang dijadikan sebagai tanda tidak boleh makan dan minum bagi orang yang ingin berpuasa. Ini dengan anggapan dari orang yang membuat-buatnya untuk kehati-hatian dalam ibadah dan hal ini tidak diketahui adanya kecuali oleh beberapa orang saja. Hal ini menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan hingga setelah matahari terbenam beberapa waktu untuk memastikan waktunya dalam anggapan mereka. Lalu mereka mengakhirkan buka puasa dan mempercepat sahur, serta menyelisihi sunnah. Oleh karena itu, sedikit sekali kebaikan dari mereka dan terdapat banyak keburukan pada mereka.”
(Khulashatu Al-Kalam, hlm.118)

Allah azza wa jalla mensyariatkan sahur atas kaum muslimin dalam rangka untuk membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka (Ahlul Kitab), sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Amru bin Al-Ash radhiyallahu anhu;

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.”
(HR. Imam Muslim, no.1096)

Di antara keberkahan sahur lainnya adalah mendapatkan shalawat dari Allah dan para Malaikat, sebagaimana dalam hadits Sahabat Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

السُّحُورُ أَكْلَةٌ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
“Sahur adalah makanan yang berkah, maka jangan kalian tinggalkan walau pun salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air! Karena Allah dan para Malaikat bershalawat untuk orang-orang yang bersahur.”
(HR. Imam Ahmad, no.11101)

Jadi, meski pun kita bangun kesiangan dan mepet dengan adzan waktu Shubuh, maka sahurlah meski pun dengan minum seteguk air atau segigit makanan! Sehingga pengertian sahur itu bukan hanya makan nasi atau semisalnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata;
“Keberkahan dalam sahur muncul dari banyak sisi, yaitu karena mengikuti sunnah, menyelisihi Ahli Kitab, memperkuat diri dalam ibadah, menambah semangat dalam beraktivitas, mencegah akhlaq buruk yang diakibatkan rasa lapar, menjadi pendorong agar bersedekah kepada orang yang meminta ketika itu atau berkumpul bersama mereka dalam makan dan menjadi sebab dzikir dan doa di waktu mustajab.”
(Khulashatu Al-Kalam, hlm.111)

Sebagian kita mengira bahwa waktu sahur hanyalah waktu untuk menyantap makanan-minuman. Padahal waktu tersebut bisa juga kita gunakan untuk memanjatkan doa kepada Allah azza wa jalla, untuk memohon setiap kebutuhan kita.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata;
“Bahwa bentuk keberkahan makan sahur di antaranya adalah karena waktu tersebut orang bangun, ada dzikir dan doa pada waktu mulia tersebut. Saat itu adalah waktu diturunkannya rahmat serta diterimanya doa dan istighfar.”
(Syarh Shahih Muslim, 9:182)

Dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaaraka wa taala turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Dia berfirman: Siapa saja yang berdoa kepadaKu, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepadaKu, maka akan Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepadaKu, maka akan Aku ampuni.”
(HR. Imam Bukhari, no.1145)

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan;
“Bahwa akhir malam sangat utama untuk berdoa dan beristighfar. Dalilnya firman Allah (yang artinya): Yaitu orang-orang yang rajin beristighfar di waktu sahur dan bahwa doa di waktu sahur itu mustajab.”
(Fathu Al-Baari, 3:31)

Imam An-Nawawi rahimahullah juga menjelaskan;
“Dalam hadits ini terdapat pelajaran bahwa waktu akhir malam lebih utama digunakan untuk shalat, berdoa, beristighfar dan melakukan ketaatan lainnya, dari pada waktu awal malam.”
(Syarh Shahih Muslim, 6:38)

Oleh karena itu, kebiasaan orang shalih di masa silam, mereka banyak memanfaatkan waktu sahur untuk semakin mendekat kepada Allah, bersimpuh di hadapanNya, berdoa dan memohon ampunan kepadaNya.

Allah menceritakan tentang sifat ahli Surga;

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“Merekalah orang-orang yang penyabar, jujur, tunduk, rajin berinfaq dan rajin beristighfar di waktu sahur.”
(Surat Ali Imran: ayat 17)

2. Mengisi siang hari di bulan Ramadhan dengan aktivitas yang berbuah pahala.
Di antara aktivitas yang berbuah pahala adalah;

a. Memperbanyak amalan ibadah.
Kesungguhan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukan ibadah pada bulan Ramadhan, tidak seperti kesungguhannya pada bulan-bulan yang lain. Jika waktu dan tempat itu mulia maka akan mulia juga amal shalih yang dilakukan pada keduanya. Semisal ketaatan di Makkah, lebih utama dari pada di tempat lainnya. Amal kebaikan pada hari Jumat lebih baik dari pada hari lainnya. Seperti bulan Ramadhan, karena keutamaannya maka semua perbuatan baik yang dilakukan di dalamnya menjadi utama pula, misalnya sedekah, qiyamullail, membaca Al-Quran, itikaf, umrah dan ibadah lainnya. Semua amal perbuatan di bulan Ramadhan tersebut lebih baik dari pada dikerjakan pada bulan-bulan lainnya.

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma berkata;

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ، وَأَجْوَدُ مَا يَـكُوْنُ فِـيْ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ، وَكَانَ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَلْقَاهُ فِـيْ كُـّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَـيُـدَارِسُهُ الْـقُـرْآنَ، فَلَرَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْـخَيْـرِ مِنَ الِرّيْحِ الْـمُرْسَلَةِ
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan ketika Jibril alaihissallam bertemu dengannya. Jibril menemuinya setiap malam Ramadhan untuk menyimak bacaan Al-Qurannya. Sungguh, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lebih dermawan dari pada angin yang berhembus.”
(HR. Imam Bukhari, no.3554)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata;
“Diserupakannya kedermawanan Nabi dengan angin yang berhembus adalah karena kedermawanan Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan manfaat yang menyeluruh seperti angin yang berhembus, yang memberikan manfaat pada setiap yang dilewatinya.”
(Fathu Al-Baari,1:68-69)

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata;
Kedermawanan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang berlipat ganda di bulan Ramadhan secara khusus mengandung faidah yang sangat banyak.
(Lathaif Al-Maarif, hlm.310-315)

Di antara faidahnya adalah;
• Kemuliaan waktu tersebut dan dilipat gandakan balasan pahala di dalamnya.
• Membantu orang-orang yang berpuasa, shalat dan orang-orang yang berdzikir dalam melaksanakan ketaatan mereka kepada Allah. Sehingga dengan demikian, beliau akan mendapatkan balasan kebaikan seperti balasan pahala yang diterima pelakunya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Siapa yang memberi makan untuk berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka dia akan mendapat ganjaran yang serupa dengan orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikit pun ganjaran orang yang berpuasa tersebut.”
(HR. At-Tirmidzi, no.807, hadits ini hasan shahih)
• Menggabungkan antara puasa dan sedekah merupakan amalan yang dapat memasukkan seseorang ke Surga, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِنَّ فِيْ الْجَنَّةِ غُرَفًا يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا، وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا، أَعَدَّهَا الله لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ، وَأَلاَنَ الْكَلاَمَ، وَتَابَعَ الصِّيَامَ، وَصَلَّى بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
“Sesungguhnya di Surga ada kamar-kamar yang bagian luarnya terlihat dari dalam, dan bagian dalamnya terlihat dari luarnya. Allah siapkan kamar-kamar tersebut bagi orang-orang yang memberi makan, melembutkan perkataan, selalu berpuasa, dan shalat di tengah malam saat manusia tidur.”
(HR. Al-Haitsami, 3:195. Para perawinya tsiqah)
• Menggabungkan antara puasa dan sedekah lebih tepat untuk menjadi sebab terhapusnya dosa, melindungi serta menjauhkan diri dari Neraka Jahannam, terlebih lagi jika kedua perkara tersebut digabungkan dengan shalat malam. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Muadz radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ
“Sedekah akan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api dan seperti shalatnya seseorang di tengah malam.”
(HR. Ibnu Majah, no.3224. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini shahih)
Maksudnya: Bahwa shalatnya seseorang di tengah malam juga dapat menghapus kesalahan (dosa).
• Dalam puasa seseorang pasti ada kekurangannya dan penambal kekurangan puasa tersebut adalah dengan sedekah (zakat fithri) dan sedekah lainnya.
• Menghibur orang-orang miskin merupakan salah satu wujud seseorang mensyukuri nikmat Allah. Seorang yang berpuasa, apabila dia merasakan kelaparan, maka dia akan teringat dan tidak akan melupakan saudaranya yang faqir dan miskin.
• Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata: Aku menyukai apabila seseorang menambah kedermawanannya di bulan Ramadhan, sebagai bentuk peneladanan dia terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan juga karena kebutuhan manusia, serta kesibukan sebagian mereka dengan puasa dan shalat, sehingga mata pencaharian mereka terabaikan.

Sifat dermawan dan pemurah itu tidak terbatas pada pemberian harta, akan tetapi bisa juga dengan hal-hal lainnya, di antaranya: Memberikan harta, memberikan ilmu, memanfaatkan kedudukannya untuk membantu orang lain dan memenuhi kebutuhan mereka dan lain sebagainya.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata;
“Nabi shallallahu alaihi wa sallam berderma dengan berbagai macam bentuk kedermawanan, seperti: Memberikan ilmu, harta, mengorbankan jiwanya untuk Allah azza wa jalla dalam mendakwahkan agama Islam dan membimbing hamba-hambaNya, serta memberikan manfaat kepada manusia dengan berbagai cara, seperti: Memberikan makan orang yang kelaparan, menasihati orang yang bodoh, menunaikan kebutuhan manusia dan menanggung beban mereka.”
(Lathaif Al-Maarif, hlm. 306)

Sifat dermawan dan pemurah termasuk di antara kemuliaan akhlaq yang dimiliki oleh orang-orang arab. Ketika Islam datang, maka kedua sifat tersebut lebih ditekankan lagi. Sahabat Urwah bin Az-Zubair radhiyallahu anhu berkata;
“Ketika Islam datang, masyarakat Arab memiliki 60 lebih akhlaq yang mulia. Dan semuanya sangat ditekankan di dalam Islam. Di antaranya: Menjamu tamu, menepati janji dan bertetangga yang baik”.
(Al-Jud Wa As-Sakha, hlm.280)

Jadi, ingatlah nasihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut untuk tidak meremehkan kebaikan sedikit pun, baik di bulan Ramadhan atau pun di bulan lainnya!

Dari Sahabat Abu Dzarr radiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئاً، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Sungguh janganlah kamu memandang rendah sedikit pun suatu kebaikan, meski pun sekedar kamu bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.”
(HR. Imam Muslim, no.2626)

Karena Rasulullah mengatakan bahwa setiap kebaikan itu bernilai sedekah. Beliau bersabda;

كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
“Setiap kebaikan adalah sedekah.”
(HR. Imam Bukhari, no.6021)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

يَقُولُ اللَّهُ إِذَا أَرَادَ عَبْدِى أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِى فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ
“Allah taala berfirman: Jika hambaKu bertekad melakukan kejelekan, janganlah dicatat hingga dia melakukannya! Jika dia melakukan kejelekan tersebut, maka catatlah satu kejelekan yang semisal! Jika dia meninggalkan kejelekan tersebut karenaKu, maka catatlah satu kebaikan untuknya! Jika dia bertekad melakukan satu kebaikan, maka catatlah untuknya satu kebaikan! Jika dia melakukan kebaikan tersebut, maka catatlah baginya 10 kebaikan yang semisal, hingga 700 kali lipat!”
(HR. Imam Bukhari, no.7062)

Jadi, isilah setiap waktu di bulan Ramadhan dengan kebaikan! Kebaikan apa pun yang kita mampu lakukan, maka segeralah lakukan! Jangan biarkan waktu kita terbuang percuma hanya untuk hal yang tidak bermanfaat!

b. Banyak membaca Al-Quran.
Disunnahkan untuk memperbanyak membaca Al-Quran di bulan Ramadhan, dan semangat untuk mengkhatamkannya. Walau pun hal ini tidaklah wajib, artinya jika tidak mengkhatamkan Al-Quran, maka tidak berdosa namun, dia merugi. Karena saat itu dia akan luput dari pahala yang sangat besar.

Pertanyaan: Adakah dalil yang menjelaskan bahwa di bulan Ramadhan kita harus sangat perhatian terhadap Al-Quran?

Jawaban: Lihatlah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam berusaha untuk mengkhatamkan Al-Quran di hadapan Jibril alaihissalam sebanyak sekali setiap tahunnya.

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata;

كَانَ يَعْرِضُ عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم الْقُرْآنَ كُلَّ عَامٍ مَرَّةً، فَعَرَضَ عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ، وَكَانَ يَعْتَكِفُ كُلَّ عَامٍ عَشْرًا فَاعْتَكَفَ عِشْرِينَ فِى الْعَامِ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ
“Jibril (saling) belajar Al-Quran dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setiap tahun sekali (khatam). Ketika di tahun beliau akan meninggal dunia, beliau dua kali khatam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa pula beritikaf setiap tahunnya selama 10 hari. Namun, di tahun saat beliau akan meninggal dunia, beliau beritikaf selama 20 hari.”
(HR. Imam Bukhari, no.4998)

Ibnul Atsir rahimahullah menjelaskan;
“Bahwa Jibril alaihissalam saling mengajarkan kepada Nabi seluruh Al-Quran yang telah diturunkan.”
(Al-Jami Fii Gharibi Al-Hadits, 4:64)

Sebab itu, para ulama begitu semangat mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan karena mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa salam.

Sebagai bukti dari penjelasan di atas, terdapat beberapa contoh dari orang-orang shalih lagi berilmu yang bisa menguatkan keyakinan kita terhadap penjelasan tersebut, di antaranya;

• Al-Aswad bin Yazid, seorang ulama besar Tabiin yang meninggal dunia 74 atau 75 Hijriyah di Kuffah. Beliau bisa mengkhatamkan Al-Quran dibulan Ramadhan setiap 2 malam.

Ibrahim An-Nakhai berkata;
“Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan setiap 2 malam.”
(Siyar Alam An-Nubala, 4:51)

Selanjutnya dikatakan;
“Di luar bulan Ramadhan, Al-Aswad biasa mengkhatamkan Al-Quran dalam 6 malam. Waktu istirahat beliau untuk tidur hanya antara Maghrib dan Isya.”
(Siyar Alam An-Nubala, 4:51)

• Ada seorang ulama dari kalangan Tabiin yang bernama Qatadah bin Da’amah, salah seorang murid dari Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Beliau ini sampai dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal sebagai ulama pakar tafsir dan paham akan perselisihan ulama dalam masalah tafsir. Sampai-sampai Sufyan Ats-Tsaury mengatakan: Bahwa tidak ada di muka bumi ini yang semisal Qatadah.

Salam bin Abu Muthi pernah menceritakan tentang semangatnya Qatadah dalam berinteraksi dengan Al-Quran;
“Qatadah biasanya mengkhatamkan Al-Quran dalam 7 hari. Namun, jika datang bulan Ramadhan, dia mengkhatamkannya setiap 3 hari. Ketika datang 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, dia mengkhatamkan setiap malamnya.”
(Siyar Alam An-Nubala, 5:276)

• Muhammad bin Idris Asy-Syafii yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafii. Sosok yang terkenal sebagai salah satu ulama madzhab, sebagaimana disebutkan oleh muridnya Ar-Rabi bin Sulaiman;
“Adalah Imam Syafii biasa mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.”
(Siyar Alam An-Nubala, 10:36)

Ibnu Abi Hatim mengatakan: Bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalatnya.

• Ibnu Asakir adalah seorang ulama hadits dari negeri Syam, dengan nama kunyah Abu Al-Qasim, beliau adalah penulis kitab yang terkenal yaitu Tarikh Dimasyqi. Anaknya yang bernama Al-Qasim mengatakan mengenai bapaknya;
“Ibnu Asakir adalah orang yang biasa merutinkan shalat jamaah dan tilawah Al-Quran. Beliau biasa mengkhatamkan Al-Quran di setiap pekannya, lebih luar biasanya di bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Quran setiap hari dan beliau biasa beritikaf di Al-Manarah Asy-Syaqiyyah. Beliau adalah orang yang sangat gemar melakukan amalan sunnah dan rajin berdzikir.”
(Siyar Alam An-Nubala, 20:562)

Pertanyaan: Apakah Mengkhatamkan Al-Quran itu hukumnya wajib?

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan;
“Bahwa keadaan seperti itu berbeda-beda, tergantung pada masing-masingnya. Orang yang sibuk pikirannya, maka berusaha sebisa mungkin sesuai kemampuan pemahamannya. Begitu pula orang yang sibuk dalam menyebarkan ilmu atau sibuk mengurus urusan agama lainnya atau urusan orang banyak, berusahalah juga untuk mengkhatamkannya sesuai kemampuan. Sedangkan selain mereka yang disebut tadi, hendaknya bisa memperbanyak membaca, jangan sampai jadi lalai!”
(At-Tibyan, hlm.72)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apakah orang yang berpuasa wajib mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan? Beliau menjawab;
“Bahwa mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan bagi orang yang berpuasa tidaklah wajib. Akan tetapi sudah seharusnya setiap muslim di bulan Ramadhan untuk memperbanyak membaca Al-Quran. Hal ini merupakan sunnah dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setiap bulan Ramadhan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa saling mengkaji Al-Quran bersama Malaikat Jibril.”
(Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 20:516)

Di sisi lain, ada hadits yang melarang mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari.

Sebagaimana Sahabat Abdullah bin Amr radhiyallaahu anhu berkata;

يَا رَسُولَ اللَّهِ فِى كَمْ أَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَالَ فِى شَهْرٍ. قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ وَتَنَاقَصَهُ حَتَّى قَالَ اقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ. قَالَ إِنِّى أَقْوَى مِنْ ذَلِكَ. قَالَ لاَ يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَهُ فِى أَقَلَّ مِنْ ثَلاَثٍ
“Wahai Rasulullah dalam berapa hari aku boleh mengkhatamkan Al-Quran? Beliau menjawab: Dalam satu bulan. Abdullah menjawab: Aku masih lebih kuat dari itu. Lantas hal itu dikurangi hingga Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan: Khatamkanlah dalam waktu sepekan (7 hari)! Abdullah masih menjawab: Aku masih lebih kuat dari itu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas bersabda: Tidaklah bisa memahaminya, jika ada yang mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari.”
(HR. Abu Dawud no.1390)

Imam Al-Azhim Abadi rahimahullah menjelaskan;
“Bahwa hadits tersebut adalah dalil tegas yang menyatakan bahwa tidak boleh mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari.”
(Aun Al-Mabud, 4:212)

Para ulama menjelaskan bahwa yang tertolak dalam hadits di atas adalah ketidakpahaman terhadap isinya, bukan pahalanya. Artinya, hadits tersebut tidaklah menunjukkan tidak boleh mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari. Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah jika mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari dan sulit untuk memahami maknanya. Berarti kalau dilakukan oleh orang yang sudah memahami Al-Quran, seperti contoh para ulama yang sudah disebutkan di atas, maka tidaklah masalah (boleh).

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan;
“Larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari 3 hari itu ada jika dilakukan terus-menerus. Sedangkan, jika sesekali dilakukan apalagi di waktu utama seperti bulan Ramadhan terlebih lagi pada malam yang ditunggu, yaitu Lailatul Qadar atau di tempat yang mulia seperti di Makkah bagi yang mendatanginya dan dia bukan penduduk Makkah, maka disunnahkan untuk memperbanyak tilawah untuk memanfaatkan pahala melimpah pada waktu dan tempat tersebut. Inilah pendapat dari Imam Ahmad Ishaq serta ulama besar lainnya. Inilah yang diamalkan oleh para ulama sebagaimana telah disebutkan.”
(Lathaif Al-Maarif, hlm.306)

Jadi, bagi yang belum pernah mengkhatamkan Al-Quran, tunggu apalagi? Segera tirulah contoh-contoh teladan dari Rasulullah, para Sahabatnya dan para Ulama lainnya! Buktikan cinta kita terhadap mereka, dengan mengikutinya, bukan malah menyelisihinya!

3. Menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat.
Nabi kita yang mulia, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Sesungguhnya termasuk tanda baiknya Islam seseorang, adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuknya.”
(HR. Ibnu Hibban, no.229)

Jadi, jika kita ingin baik Islamnya, hindari melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya! Karena terkadang manusia merasa memiliki banyak waktu luang dan dalam keadaan sehat, membuat mereka bersantai-santai dengan hal yang sebetulnya tidak bermanfaat bagi diri mereka. Karena banyak di antara manusia yang menganggap bahwa yang namanya kesibukan dan kegiatan adalah yang berkenaan hal-hal duniawi. Sedangkan mereka lupa, bahwa ada kesibukan dan kegiatan lain yang lebih penting dan bermanfaat bagi dirinya, yaitu berkenaan hal-hal ukhrawi (akhirat).

Sebetulnya, waktu bagi manusia adalah umur mereka. Waktu merupakan modal bagi manusia untuk kehidupannya yang abadi nanti di akhirat, apakah dia akan berada di dalam Surga yang penuh kenikmatan ataukah di dalam Neraka yang penuh siksa yang sangat pedih?

Waktu terus berjalan tak pernah berhenti, siang dan malam datang silih berganti, berlalu dengan cepat mengurangi jatah usia dan semakin mendekatkan pada waktu kematian.

Allah azza wa jalla berfirman;

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا
“Dan Dia (Allah) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”
(Surat Al-Furqan: ayat 62)

Maka selayaknya seorang Mukmin mengambil dan memetik ibrah (pelajaran) dari perjalanan siang dan malam terutama pada bulan Ramadhan, bulan yang sangat berharga dan moment yang teramat agung. Berapa banyak Ramadhan yang telah kita lalui, datang lalu pergi begitu cepat? Siang dan malam terus berlalu membuat segala hal yang baru menjadi usang, yang tadinya jauh menjadi semakin dekat, jatah usia menjadi semakin berkurang. Perjalanan siang dan malam telah membuat anak kecil berubah menjadi orang dewasa yang beruban dan memusnahkan yang tua. Semua peristiwa ini mengingatkan kita akan perjalanan dunia yang semakin jauh sementara hari Kiamat semakin mendekat.

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu pernah mengatakan;

اِرْتَحَلَتْ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتْ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ وَلَا تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابَ وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ
“Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menghadap. Keduanya memiliki anak-anak, maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia! Karena sesungguhnya hari ini (maksudnya dunia) tempat beramal tanpa ada hisab, sedangkan besok (di akhirat) tempat hisab (perhitungan) tanpa ada kesempatan untuk beramal.”
(Takhriju Misykati Al-Mashabih Al-Asqalani, 5:23)

Sahabat Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu mengatakan;
“Aku tidak pernah menyesali sesuatu melebihi penyesalanku atas satu hari yang telah berlalu, sedangkan pada hari itu umurku berkurang, sementara amalanku tidak bertambah.”

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan;
“Aku pernah bertemu beberapa kaum, perhatian mereka terhadap waktu-waktu mereka melebihi perhatian kalian terhadap dirham dan dinar-dinar kalian.”

Oleh karena itu, barang siapa melewati hari-harinya bukan untuk menunaikan sesuatu yang menjadi kewajibannya dan bukan untuk melakukan hal-hal yang terpuji dan bermanfaat, atau tidak pula untuk mendapatkan ilmu, maka sungguh dia telah mendurhakai harinya, menzhalimi diri dan harinya.

Sangat banyak hadits dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam yang shahih menjelaskan pentingnya waktu dan beliau shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan agar umatnya memanfaatkannya serta tidak menyia-nyiakannya. Karena seorang hamba akan ditanya tentang waktunya kelak pada hari Kiamat.

Dari Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkanlah yang 5 sebelum datangnya yang 5: Usia muda sebelum datang usia tua, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang masa kematian.”
(HR. Al-Baihaqi, Syuabu Al-Iman, no.10248)

Dari Sahabat Abi Barzah Al-Aslami radhiyallahu anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

لا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَومَ القِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أفنَاهُ؟ وَعَنْ عِلمِهِ فِيمَ فَعَلَ فِيهِ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أيْنَ اكْتَسَبَهُ؟ وَفيمَ أنْفَقَهُ؟ وَعَنْ جِسمِهِ فِيمَ أبلاهُ؟
“Tidak akan bergeser dua kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai dia ditanya tentang umurnya: Untuk apa dihabiskan? Tentang ilmunya: Dalam hal apa ilmunya diamalkan? Tentang hartanya: Dari mana dia mendapatkannya dan diinfaqkan kemana? Tentang jasadnya: Dipergunakan untuk apa?”
(HR. At-Tirmidzi, no.2417)

Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat yang membuat banyak manusia terlena dengannya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”
(HR. Imam Bukhari, no.6412)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata;

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, itu hanyalah musibah.”
(Jami Al-Ulum Wa Al-Hikam, 2:82)

Maka hendaknya pada bulan Ramadhan yang mulia dan penuh berkah serta ampunan Allah azza wa jalla, kita manfaatkan dengan segala hal yang bisa kita lakukan untuk ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla. Hendaknya kita memanfaatkan masa hidup ini sebelum kematian datang menjemput secara tiba-tiba.

Orang-orang yang telah Allah azza wa jalla berikan kesehatan, hendaknya mereka memanfaatkan kesehatannya sebelum Allah azza wa jalla menguji mereka dengan penyakit yang akan menghalangi dan membuat mereka lemah dalam beribadah kepada Allah.

Orang-orang yang Allah azza wa jalla berikan kelonggaran waktu, hendaknya mereka memanfaatkan waktu luang tersebut sebelum mereka tersibukkan oleh berbagai kesibukan yang menghalangi mereka dari beribadah.

Para pemuda hendaknya memanfaatkan waktu muda mereka sebelum datang masa tua yang identik dengan kelemahan dan berbagai macam penyakit.

Orang-orang kaya yang telah Allah anugerahi rezeki melimpah, hendaknya memanfaatkan kekayaan yang mereka miliki sebelum didera kemiskinan dan dikejar berbagai kebutuhan.

Hendaknya mereka semua memanfaatkan kesempatan yang mulia ini supaya mereka bertambah dekat dengan Allah azza wa jalla dan supaya lebih terbuka peluang untuk mendapatkan keberkahan dan rahmat Allah dengan cara bertaubat kepadaNya, sambil memperbanyak perbuatan baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.

4. Menjauhi semua hal yang dilarang Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengingatkan, bahwa puasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum saja. Beliau bersabda;

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah menahan diri dari perkataan laghwu (tidak bermanfaat) dan rafats (kotor). Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil kepadamu, maka katakanlah kepadanya: Aku sedang puasa, aku sedang puasa!”
(HR. Ibnu Majah, Shahih At-Targib Wa At-Tarhib, no.1082)

Puasa juga adalah mempuasakan semua anggota tubuh kita dari setiap kemaksiatan (dosa). Apabila seorang yang berpuasa tidak bisa menjaga diri dari hal-hal ini, bisa jadi pahala puasanya sia-sia dan yang dia dapatkan hanya lapar dan haus.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun, dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali hanya rasa lapar dan dahaga.”
(HR. Ahmad, no.9683, Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini hasan shahih)

Bahkan Allah tidak butuh terhadap puasanya dan ini bentuk ungkapan bahwa ibadah puasanya tidak benar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”
(HR. Imam Bukhari, no.1903)

Jadi, pengertian puasa itu bukan cuma menahan lapar dan haus, tapi menahan seluruh anggota tubuh dari segala yang dilarang oleh Allah dan termasuk juga segala hal yang tidak bermanfaat untuk diri kita.

Untuk mengetahui segala hal yang dibolehkan dan dilarang oleh Allah, bisa diketahui dengan belajar ilmu Islam secara rutin dan tuntas. Karena dengan kita bisa mengetahui segala hal yang dibolehkan oleh Allah, kita bisa mengamalkannya dan ketika kita bisa mengetahui segala hal yang dilarang oleh Allah, kita bisa berwaspada dan meninggalkannya.

5. Persiapan buka puasa.
Ketika masuk waktu sore hari di bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia biasanya memiliki beberapa aktivitas rutin. Misal: Ngabuburit, masak-masak dan persiapan buka puasa lainnya. Maka kita perlu mengetahui juga mengenai hukum beberapa kebiasaan tersebut, dibolehkan ataukah dilarang dalam syariat Islam?

a. Ngabuburit.
Istilah ini biasanya digunakan untuk setiap aktivitas yang dilakukan dari setelah waktu shalat Ashar sampai menjelang waktu shalat Maghrib, selama bulan Ramadhan.

Kegiatan yang dilakukan pun bermacam-macam, ada yang jalan-jalan bersama keluarga atau teman-teman, berbelanja makanan, berolahraga, bahkan ada juga yang pergi ke majelis ilmu. Semuanya itu dibolehkan oleh Islam, asalkan tidak melanggar aturan Islam.

Karena kegiatan dunia itu hukum asal mubah (boleh), selama tidak melanggar syariat Islam. Dan salah satu kegiatan dunia yang dilarang oleh Islam, di antaranya: Jalan-jalan bersama lawan jenis yang bukan mahramnya atau bukan istrinya, apa pun alasannya! Dan ini merupakan bentuk pelanggaran besar terhadap syariat Islam, karena pada aktivitas tersebut pasti banyak hal-hal maksiat yang dilakukan, misal: Saling memandang, bersentuhan, berduaan dan prilaku buruk yang lebih keji lainnya, inilah yang mereka sebut dengan istilah “pacaran”.

Perlu kita ketahui, pelarangan pacaran itu ada bukan pada saat ini saja namun, dari dahulu di zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallaahu anhum, ketika syariat Islam Allah turunkan kepada Rasulullah, istilah pacaran sudah dilarang oleh Allah di dalam Al-Quran.

Allah azza wa jalla berfirman;

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina! Sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
(Surat Al-Isra: ayat 32)

Dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan;
“Bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras dari pada perkataan: Janganlah melakukan zina! Maksudnya, bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi melakukan zina? Ini jelas-jelas lebih terlarang.”

Dari perkataan Imam Asy-Syaukani, maka kita dapat simpulkan: Bahwa setiap cara atau jalan (perantara) menuju zina adalah suatu yang terlarang. Ini berarti memandang, berjabat tangan, berduaan dan bentuk perbuatan buruk lainnya yang dilakukan dengan lawan jenis (bukan mahram) hukumnya haram, karena hal tersebut sebagai perantara pada zina dan termasuk juga suatu hal yang terlarang.

Karena suatu perantara memiliki hukum yang sama seperti tujuannya. Ada sebuah kaidah fiqih;

وَسَائِلُ الْأُمُوْرِ كَالْمَقَاصِدِ
“Perantara-perantara (washilah) suatu perkara, itu memiliki hukum yang sama seperti tujuannya.”
(Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, no.24)

Jadi, ketika kita mau tahu tentang hukum suatu hal, lihatlah tujuannya! Jika tujuannya tersebut dibolehkan oleh Islam, maka hukumnya boleh dilakukan. Jika tujuannya dilarang oleh Islam, maka hukumnya pun tidak boleh dilakukan.

Seperti pacaran, hukumnya tidak boleh dilakukan. Karena itu salah satu perantara menuju zina, sedangkan zina hukumnya haram, maka pacaran pun menjadi haram.

Oleh karena itu, jika kita ingin mengisi waktu menjelang buka puasa, isilah dengan kegiatan yang baik lagi bermanfaat. Seperti hadir ke majelis ilmu, mendengarkan penjelasan ilmu, membantu orang tua, membaca Al-Quran (agar bisa mengkhatamkannya), perbanyak berdoa, berdzikir dan kegiatan positif lainnya.

b. Masak-masak.
Termasuk kegiatan yang biasa dilakukan untuk menunggu waktu berbuka puasa adalah menyiapkan makanan.

Di antara hal nyeleneh yang menjadi keyakinan sebagian umat Islam di Indonesia adalah selama berpuasa tidak boleh gosok gigi, mandi, keramas dan termasuk menyicipi masakan. Padahal itu semua dibolehkan oleh Islam untuk dilakukan di bulan Ramadhan dan di bulan lainnya.

Ada seseorang bertanya kepada Syaikh Muqbil rahimahullah.

Pertanyaan;
Apa hukumnya seorang perempuan merasakan masakannya dengan ujung lidahnya, supaya mengetahui apa yang kurang dari bumbu-bumbu masakan tersebut?

Jawaban;
Tidak mengapa tentang hal itu, insyaallah. Asalkan jangan sampai ada yang masuk ke tenggorokannya sesuatu apa pun.
(Bulughu Al-Maram Min Fatawa Ash-Shiyam As-Ilah Ajaba Alaiha, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii)

• Mengenai sikat gigi di siang hari bulan Ramadhan juga dibolehkan oleh Islam.

Pertanyaan;
Apa hukumnya menggunakan hal-hal di bawah ini di siang hari di bulan Ramadhan, misal: Memakai siwak dan sikat gigi atau odol?

Jawaban;
Ada pun memakai siwak dari batangnya, maka ini tidak mengapa (boleh), walau pun warnanya hijau. Ada pun odol atau sikat gigi maka kami menasihatkan untuk meninggalkannya di bulan Ramadhan. Dan kami tidak memiliki dalil bahwa itu akan membatalkan shaum, akan tetapi wajib untuk berhati-hati dalam menggunakannya, sehingga tidak sampai ada sesuatu yang mengalir atau masuk ke dalam perutnya. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Dan sempurnakanlah pada waktu istinsyaq, kecuali dalam keadaan shaum! Karena sesungguhnya apabila dia dalam keadaan shaum maka ditakutkan akan mengalir atau masuknya air ke dalam perutnya.”
(Bulughu Al-Maram Min Fatawa Ash-Shiyam As-Ilah Ajaba Alaiha, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii)

Syaikh Abdullah bin Baz rahimahullah juga pernah ditanya mengenai hukum menggunakan pasta gigi di siang hari bulan Ramadhan. Maka beliau menjawab;
“Tidak masalah, selama dijaga agar tidak tertelan sedikit pun.”
(Fatwa Syaikh Ibn Baz, 4:247)

• Mengenai keramas di siang hari bulan Ramadhan juga dibolehkan. Karena tujuan keramas untuk mendinginkan badan.

Dari Abu Bakr bin Abdurrahman rahimahullah, dari sebagian Sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam bercerita;

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ النَّاسَ فِي سَفَرِهِ عَامَ الْفَتْحِ بِالْفِطْرِ وَقَالَ تَقَوَّوْا لِعَدُوِّكُمْ وَصَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ الَّذِي حَدَّثَنِي لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَرِّ
“Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang ketika dalam perjalanannya pada tahun penaklukan Mekkah untuk berbuka. Beliau berkata: Perkuatlah tubuh kalian untuk menghadapi musuh! Sementara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang berpuasa. Abu Bakr berkata: Telah berkata orang yang telah menceritakan kepadaku Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di Al-Arj menuangkan air ke kepalanya karena haus atau panas, sementara beliau sedang berpuasa.”
(HR. Abu Dawud, no.2365)

Masih banyak lagi kebiasaan-kebiasaan yang saat ini dianggap oleh masyarakat tidak boleh dilakukan selama bulan Ramadhan, tapi sebetulnya dibolehkan oleh syariat Islam. Itulah bukti pentingnya berilmu sebelum beramal. Karena sampai kapan pun, tidak akan mungkin sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.

Allah azza wa jalla berfirman;

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَٰبِ
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.”
(Surat Az-Zumar: ayat 9)

6. Adab-adab buka puasa.
Di antara adab dalam berbuka puasa yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang berpuasa adalah berdoa dan berdzikir. Karena hal ini yang sering dilupakan oleh setiap muslim yang sedang berpuasa.

Di antara adab-adab yang harus dilakukan pada saat berbuka puasa adalah;

a. Banyak berdoa.
Perlu diketahui, bahwa waktu ketika berbuka puasa itu termasuk salah satu waktu terkabulnya doa (mustajab).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ لَا تُرَدّ، دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الصّـَائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
“Ada 3 orang yang doanya tidak ditolak (pasti dikabulkan): Doa orang tua kepada anaknya, doa orang yang berpuasa ketika berbuka, dan doa orang yang sedang dalam perjalanan jauh (musafir).”
(HR. Al-Baihaqi, 3:345)

b. Membaca bismillah sebelum makan.
Ketika akan membatalkan puasa dengan makan atau minum, bacalah bismillah! Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ أَوّلَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia menyebut nama Allah (mengucapkan bismillah). Jika dia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaklah dia mengucapkan: Bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (dengan menyebut nama Allah pada awal dan akhirnya).”
(HR. At-Tirmidzi, no.1858, beliau mengatakan hadits ini hasan shahih)

c. Membaca doa buka puasa.
Setelah membatalkan puasa dengan mengucapkan bismillah sebelumnya, maka selanjutnya kita membaca doa sebagaimana yang dibaca oleh Rasulullah;

ذَهَبَ الظّـَمَأُ وَابْتَلّـَتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah hilang dahaga, telah basah kerongkongan dan semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki.”
(HR. Abu Dawud, no.2357. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan)

Ada pun doa buka puasa lainnya, yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhuma;

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ
“Ya Allah, aku memohon rahmatMu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya Engkau mengampuniku.”
(HR. Ibnu Majah, no.1753. Al-Hafizh mengatakan hadits ini hasan)

• Kapan doa buka puasa tersebut dibaca?
Secara zhahir, doa buka puasa tersebut dibaca setelah membatalkan puasa. Silakan simak kembali lafazh doa di atas!

• Kenapa dibaca setelah membatalkan puasa?
Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, Abdullah bin Umar berkata: Jika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah berbuka puasa, beliau mengucapkan (doa tersebut).

Yang dimaksud dengan إِذَا أَفْطَرَ adalah apabila setelah makan atau minum. Karena dari sisi bahasa (lughah), kata أَفْطَرَ menggunakan fiil madhi yaitu bentuk kata kerja lampau (sudah terjadi). Maka diartikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘telah berbuka’. Berdasarkan tinjauan ini, maka diambil kesimpulan doa tersebut dibaca setelah berbuka puasa, yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah ‘membatalkan’ puasanya pada waktunya (yaitu ghurubusy syams atau terbenamnya matahari). Oleh karena itu, doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum ketika akan berbuka. Karena ketika sebelum makan atau minum, kita disunnahkan membaca bismillah terlebih dahulu, bukan membaca doa buka puasa.

Sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda;

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ أَوّلَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya dia menyebut nama Allah. Jika dia lupa untuk menyebut nama Allah di awal, hendaklah dia mengucapkan: Bismillaahi awwalahu wa aakhirahu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).”

Setelah menikmati hidangan berbuka, jangan lupa baca doa setelah makan!

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنِيْ هَـٰذَا وَرَزَقَنِيْهِ، مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّيْ وَلاَ قُوَّةٍ
“Segala puji hanya untuk Allah yang telah memberiku makanan ini dan memberi rezeki kepadaku, tanpa daya dan kekuatan dariku.”
(HR. At-Tirmidzi, no.3458, beliau dan ulama lainnya menghasankan hadits ini)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
“Barang siapa yang makan makanan, kemudian setelahnya mengucapkan doa di atas, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”

Mari kita hafalkan dan amalkan dengan rutin! Dan hendaknya doa ini dibaca juga setiap setelah makan.

* Ada beberapa doa berbuka puasa yang sebetulnya tidak shahih (dhaif) namun, sering dibaca dan diamalkan oleh umat Islam yang sedang berpuasa, di antaranya;

اللَّهُـمّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allah untukMu aku berpuasa dan atas rezekiMu aku berbuka.”

Ada pun teks hadits secara lengkapnya;

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنّهُ بَلَغَهُ أَنّ النّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اللَّهُمّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan: Allahumma Laka Sumtu Wa Ala Rizqika Afthartu (Ya Allah untukMu aku berpuasa dan atas rezekiMu aku berbuka).”
(HR. Abu Dawud, no.2358)

Ternyata sanad hadits ini mempunyai dua cacat, di antaranya;
•Pertama: Hadits tersebut merupakan hadits Mursal, karena Muadz bin Abi Zuhrah adalah seorang Tabiin bukan Sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Hadits Mursal adalah: seorang Tabiin meriwayatkan langsung dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tanpa perantara Sahabat dan langsung dinisbatkan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

•Kedua: Selain itu, Muadz bin Abi Zuhrah ini seorang perawi yang majhul (tidak dikenal). Tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedangkan, Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya Jarh Wa At-Tadil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya.

Hadits mursal merupakan hadits dhaif karena sanadnya terputus. Syaikh Al-Albani pun berpendapat bahwasanya hadits tersebut dhaif.
(Irwau Al-Ghalil, 4:38)

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dari Sahabat Anas bin Malik. Namun, sanadnya terdapat perawi dhaif yaitu Daud bin Az-Zibriqan, dia adalah seorang perawi matruk (yang haditsnya ditinggalkan) sebagaimana Al-Hafizh menilai Dawud bin Az-Zibriqan sebagai matruk.
(Taqribu At-Tahdzib, no.1795)

Berarti dari riwayat ini juga sama dhaif. Syaikh Al-Albani pun menyatakan riwayat ini dhaif.
(Irwau Al-Ghalil, 4:37-38)

* Makanan apa yang dimakan pada saat berbuka puasa?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan kepada umatnya agar berbuka puasa dengan;
•Ruthab (kurma matang berwarna coklat muda dan masih basah)
•Tamr (kurma matang yang sudah kering)
•Air minum

Hal ini berdasarkan dalil yang shahih;

كَانَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلّـِيَ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ، فَعَلَى تَمَرَاتٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbuka dengan beberapa ruthab (kurma matang namun, masih basah) sebelum melakukan shalat (Maghrib), jika tidak ada ruthab maka dengan beberapa tamr (kurma matang kering), jika itu tidak ada maka beliau meminum air beberapa kali tegukan.”
(HR. Abu Dawud, no.2356, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Hadits di atas mengandung beberapa pelajaran berharga, di antaranya;

-Dianjurkannya untuk berbuka puasa dengan ruthab (kurma basah), apabila tidak ada maka boleh memakan tamr (kurma kering), jika tidak ada pula maka minumlah air.

-Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berbuka dengan beberapa buah kurma sebelum melaksanakan shalat. Hal ini merupakan strategi pengaturan yang sangat cermat, karena puasa itu mengosongkan perut dari makanan, sehingga hati tidak mendapatkan suplai makanan dari perut dan tidak dapat mengirimnya ke seluruh sel-sel tubuh. Selain itu, rasa manis merupakan sesuatu yang sangat cepat meresap dan paling disukai hati, apalagi kalau dalam keadaan basah. Setelah itu, hati pun memproses dan melumatnya serta mengirim zat yang dihasilkannya ke seluruh anggota tubuh dan otak. Air adalah pembersih bagi usus manusia dan itulah yang berlaku alamiyah hingga saat ini.
(Taudhihu Al-Ahkam Min Bulughi Al-Maram, 3:477)

-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan penjelasan tentang hadits di atas;
“Cara Nabi shallallahu alaihi wa sallam berbuka puasa dengan menyantap kurma atau air mengandung hikmah yang sangat mendalam. Karena saat berpuasa lambung kosong dari makanan apa pun, sehingga tidak ada sesuatu yang amat sesuai untuk liver (hati) yang dapat disuplai langsung ke seluruh organ tubuh serta langsung menjadi energi, selain kurma dan air. Karbohidrat yang ada dalam kurma akan lebih mudah sampai ke liver dan lebih cocok dengan kondisi organ tersebut. Terutama sekali, kurma matang yang masih segar. Liver akan lebih mudah menerimanya sehingga sangat berguna bagi organ ini sekaligus juga dapat langsung diproses menjadi energi. Kalau tidak ada kurma basah, kurma kering pun baik, karena mempunyai kandungan unsur gula yang tinggi juga. Bila tidak ada, cukup beberapa teguk air untuk mendinginkan panasnya lambung akibat puasa, sehingga dapat siap menerima makanan sesudah itu.”
(Ath-Thib An-Nabawy, hlm.309)

Jadi yang sesuai dengan sunnah Nabi, ketika akan buka puasa namun, tidak ada kurma, minumlah air! Bukan kolak atau semisalnya.

Semoga Allah azza wa jalla memberikan ilmu yang berkah kepada kita. Aamiin
___
@Kota Angin Majalengka-Jawa Barat.
27 Rajab 1440H/03 April 2019M.

Penulis: Abu Humairo Muhamad Fadly

Baca selengkapnya : https://www.khiyaar.com/1190-sifat-puasa-rasulullah.html

perlu ebooknya klik di sini  download
x
Share:

Kitab sahabat nabi di mata ahlus sunnah wal jamaah

9 Peninggalan Sejarah Bercorak Islam [Gratis Kalian Wajib Tahu]
Syaikh Abu 'Abdullah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Sulaiman bin Abdur Rahman Al-'Utsaimin At-Tamimi (bahasa Arab: أبو عبد الله محمد بن صالح بن محمد بن سليمان بن عبد الرحمن العثيمين التميمي‎, lahir di Unaizah, Arab Saudi, 29 Maret 1925 – meninggal di Jeddah, Arab Saudi, 5 Januari 2001 pada umur 75 tahun) adalah seorang ulama era kontemporer yang ahli dalam sains fiqh. Lebih dikenal dengan nama Syaikh Ibn 'Utsaimin atau Syaikh 'Utsaimin. Dilahirkan di kota Unaizah pada tahun 1928. Pernah menjabat sebagai ketua di Hai'ah Kibarul Ulama (semacam MUI di Kerajaan Arab Saudi). Dia wafat pada tahun 2001 di Jeddah, disholatkan di Masjidil Haram, dan dimakamkan di pemakaman Al-Adl Mekkah, Arab Saudi.[3][4]
Syaikh Utsaimin kecil mulai belajar membaca Al-Qur'an kepada kakeknya (ayah dari ibunya) yaitu Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman Ali ad-Damigh, hingga dia hafal. Sesudah itu dia mulai mencari ilmu dan belajar khat (ilmu tulis menulis), ilmu hitung, dan beberapa bidang ilmu sastra kepada kakeknya tersebut. Kemudian Syaikh Utsaimin melanjutkan belajarnya di Maktab (sekolah kecil) Syaikh Abdurrahman as-Sa'di, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menugaskan kepada dua orang orang muridnya untuk mengajar para junior (murid-muridnya yang masih kecil). Dua murid tersebut adalah Syaikh Ali ash-Shalihin dan Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz al-Muthawwi'. Kepada yang terakhir ini (Syaikh Muhammad bin Abdil Aziz al-Muthawwi') dia Syaikh Utsaimin mempelajari kitab "Mukhtasar Al-Aqidah Al-Wasithiyah" dan "Minhaju Salikhin fil Fiqh" karya Syaikh Abdurrahman as-Sa’di. Disamping itu, Syaikh Utsaimin juga belajar ilmu faraidh (waris) dan fiqh kepada Syaikh Abdurrahman bin Ali bin 'Audan. Sedangkan kepada guru utama dia yaitu Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, dia mengkaji masalah tauhid, tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, faraidh, musthalahul hadits (ilmu-ilmu hadits), nahwu, dan sharaf.[5]

Syaikh Utsaimin termasuk murid yang memiliki kedudukan penting di sisi Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di. Ketika ayah Syaikh Utsaimin pindah ke Riyadh di usia pertumbuhan dia, dia pun ingin ikut bersama ayahnya. Oleh karena itu Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengirim surat kepada dia: "Hal ini tidak mungkin, kami menginginkan Muhammad (Syaikh Utsaimin) tetap tinggal di sini agar ia bisa mengambil faidah (ilmu)." Syaikh Utsaimin berkata tentang gurunya ini: "Sesungguhnya aku merasa terkesan dengan dia (Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di) dalam banyak cara dia mengajar, menjelaskan ilmu, dan pendekatan kepada para pelajar dengan contoh-contoh serta makna-makna (yang baik). Demikian pula aku terkesan dengan akhlak dia yang agung dan utama sesuai dengan kadar ilmu dan ibadahnya. Dia senang bercanda dengan anak-anak kecil dan bersikap ramah kepada orang-orang besar. Dia adalah orang yang paling baik akhlaknya yang pernah aku lihat (selama ini)."

Ketika beranjak remaja, Syaikh Utsaimin belajar kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, disini Syaikh Utsaimin mempelajari kitab Shahih Bukhari, sebagian risalah-risalah (karya tulis) Ibnu Taimiyyah serta beberapa kitab-kitab fiqh. Dia berkata: "Aku terkesan terhadap Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz karena perhatian dia terhadap hadits, dan saya juga terkesan dengan akhlak dia serta sikap terbuka dia dengan manusia." Kemudian pada tahun 1951, dia duduk untuk mengajar di masjid Jami'. Ketika dibukanya institut-institut ilmu di Riyadh, dia pun mendaftarkan diri disana pada tahun 1952. Berkata Syaikh Utsaimin: "Saya masuk di lembaga pendidikan tersebut untuk tahun kedua setelah berkonsultasi dengan Syaikh Ali ash-Shalihin dan sesudah meminta ijin kepada Syaikh Abdurrahman as-Sa’di. Ketika itu Ma’had al ilmiyyah (Riyadh) dibagi menjadi 2 bagian, yaitu umum dan khusus. Saya berada pada bidang yang khusus. Pada waktu itu bagi mereka yang ingin "meloncat" ia dapat mempelajari tingkat berikutnya pada masa libur dan kemudian diujikan pada awal tahun ajaran kedua. Maka jika ia lulus, ia dapat naik ke pelajaran tingkat lebih tinggi setelah itu. Dengan cara ini saya dapat meringkas waktu."

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (mufti pertama Kerajaan Arab Saudi) pernah menawarkan bahkan meminta berulang kali kepada syaikh Utsaimin untuk menduduki jabatan Qadhi (hakim) tinggi, bahkan telah mengeluarkan surat pengangkatan sebagai ketua pengadilan agama di Al-Ihsa (Ahsa), namun dia (Syaikh Utsaimin) menolaknya. Setelah dilakukan pendekatan pribadi, Syaikh Muhammad bin Ibrahim pun mengabulkannya untuk menarik dirinya (Syaikh Utsaimin) dari jabatan tersebut.

Sesudah dua tahun belajar, Syaikh Utsaimin lulus dan diangkat menjadi guru di ma’had Unaizah al-‘Ilmi sambil meneruskan studi dia secara intishab (Semacam Universitas Terbuka) pada fakultas syari’ah serta terus menuntut ilmu dengan bimbingan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Ketika Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di wafat, dia menggantikan sebagai imam masjid jami’ di Unaizah dan mengajar di perpustakaan nasional Unaizah disamping tetap mengajar di ma’had al-'Ilmi. Kemudian dia pindah mengajar di fakultas syari’ah dan ushuludin di cabang universitas Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah di Qasim.[6]

Karya-karya
  1. Talkhis Al Hamawiyah
  2. Tafsir Ayat Al-Ahkam
  3. Syarh Umdatul Ahkam
  4. Musthalah Hadits.
  5. Al Ushul min Ilmil Ushul.
  6. Risalah fil Wudhu wal Ghusl wash Shalah.
  7. Risalah fil Kufri Tarikis Shalah.
  8. Majalisu Ar Ramadhan.
  9. Al-Udhiyah wa Az Zakah.
  10. Al-Manhaj li Muridil Hajj wal Umrah.
  11. Tashil Al-Faraidh.
  12. Syarh Lum’atul I’tiqad.
  13. Syarh Al-Aqidah Al Wasithiyah.
  14. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
  15. Al Qowaidul Mustla fi Siftillah wa Asma’ihil Husna.
  16. Risalah fi Annath Thalaq Ats-Tsalats Wahidah Walau Bikalimatin (belum dicetak).
  17. Takhrij Ahadits Ar Raudh Al-Murbi’ (belum dicetak).
  18. Risalah Al Hijab.
  19. Risalah fi Ash Shalah wa Ath Thaharah li Ahlil A’dzar.
  20. Risalah fi Mawaqit Ash Shalah.
  21. Risalah fi Sujud As Sahwi
  22. Risalah fi Aqsamil Mudayanah.
  23. Risalah fi Wujubi Zakatil Huliyyi.
  24. Risalah fi Ahkamil Mayyit wa Ghuslihi (belum dicetak).
  25. Tafsir Ayatil Kursi.
  26. Nailul Arab min Qawaid Ibnu Rajab (belum dicetak).
  27. Ushul wa Qowa’id Nudhima ‘Alal Bahr Ar-Rajaz (belum dicetak).
  28. Ad Diya’ Allami’ Minal Hithab Al-Jawami’.
  29. Al Fatawaa An Nisaa’iyyah
  30. Zad Ad Da’iyah ilallah Azza wa Jalla.
  31. Fatawa Al-Hajj.
  32. Al-Majmu Al-Kabir Min Al-Fatawa.
  33. Huquq Da’at Ilaihal Fithrah wa Qarraratha Asy Syar’iyah.
  34. Al Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Muaqifuna Minhu.
  35. Min Musykilat Asy-Syabab.
  36. Risalah fil Al Mash ‘alal Khuffain.
  37. Risalah fi Qashri Ash Shalah lil Mubtaisin.
  38. Ushul At Tafsir.
  39. Risalah Fi Ad Dima’ Ath Tabiiyah.
  40. As’illah Muhimmah.
  41. Al Ibtida’ fi Kamali Asy Syar’i wa Khtharil Ibtida’.
  42. Izalat As-Sitar ‘Anil Jawab Al-Mukhtar li Hidayatil Muhtar.
  43. Syarh Riyadhis Shalihin
  44. Syarh Kitabut Tauhid
  45. Syarh Al Arba'in An-Nawawiyah
  46. Dan lain-lain.
Sumer wijkipedia

Salah satu karya beliau di di donlot di sini  download


Semoga bermanfaat
Share:

PRINSIP ILMU USHUL FIQIH


Muhammad bin Shalih al-Utsaimin - Prinsip Ilmu Ushul FiqhUshul fikih (bahasa Arab: أصول الفقه‎) adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.[1]

Sumber-sumber hukum Islam
Informasi lebih lanjut: Sumber-sumber hukum Islam
Mekanisme pengambilan hukum dalam Islam harus berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Sumber-sumber hukum islam terbagi menjadi 2: sumber primer dan sumber sekunder. Alquran dan sunnah merupakan sumber primer. Hukum-hukum yang diambil langsung dari Alquran dan Sunnah sudah tidak bertambah dan disebut sebagai syariah.

Adapun sumber hukum sekunder yaitu ijmak, qiyas, dan sumber hukum lain. Hukum-hukum yang diambil dari sumber sekunder disebut fikih. Ijmak dan qiyas merupakan sumber hukum yang disepakati oleh empat mazhab fikih: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Sumber hukum lain seperti kebiasaan masyarakat, perkataan sahabat, dan istihsan diperselisihkan kevalidannya di antara mazhab-mazhab yang ada.

Sejarah
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fikih sesuai dengan Alquran, hadis, dan ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rosulullah. Maka para Ulama ahli Usul Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu fikih.[2]

Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Alquran, kedudukan hadis, ijma, qiyas, dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqih yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqih sesudahnya. Para ulama ushul fiqih dalam pembahasannya mengenai ushul fiqih tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Karena itu maka terdapat dua golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.[3]

Golongan Mutakallimin dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang lazim digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan memakai akal-pikiran dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan pokok (ushul), tanpa memperhatikan apakah peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan persoalan cabang (furu') atau tidak. Di antara kitab-kitab yang ditulis oleh golongan ini adalah:

  • Al-Mu'tamad oleh Muhammad bin Ali
  • Al-Burhan oleh Al-Juwaini
  • Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali
  • Al-Mahshul oleh Ar-Razy


Golongan Hanafiyah dalam pembahasannya selalu memperhatikan dan menyesuaikan peraturan-peraturan pokok (ushul) dengan persoalan cabang (furu'). Setelah kedua golongan tersebut muncullah kitab pemersatu antara kedua aliran tersebut di antaranya adalah;

  1. Tanqihul Ushul oleh Sadrus Syari'ah
  2. Badi'unnidzam oleh As-Sa'ati
  3. Attahrir oleh Kamal bin Hammam
  4. Al-Muwafaqat oleh As-Syatibi
  5. Selain kitab-kitab tersebut di atas, juga terdapat kitab lain yaitu, Irsyadul Fuhul oleh Asy-Syaukani, Ushul Fiqih oleh Al-Chudari. Terdapat juga kitab Ushul fiqih dalam bahasa Indonesia dengan nama "Kelengkapan dasar-dasar fiqih" oleh Prof. T.M. Hasbi As-Shiddiqi
Sumber wikipedia 

link download   klik download
semoga bermanfaat 




Share:

PRINSIP-PRINSIP AQIDAH AHLUSSUNNAH WALJAMAAH

12 Kitab Hadits yang Sangat Terkenal - Bacaan Madani | Bacaan ...Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (bahasa Arab: صالح بن فوزان بن عبد الله الفوزان‎,[1]) lahir di Arab Saudi, 1 Rajab 1354 H (28 September 1933) adalah seorang syaikh, ulama, dan merupakan anggota kehormatan dari Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam di Arab Saudi sejak 15 Rajab 1412 H.[2][3][4]

Shalih al-Fauzan berasal dari keluarga (Alu) Fauzan dari suku Asy-Syamasiyah, yaitu penduduk yang menepati lembah Ad-Dawasir. Orang tuanya meninggal pada saat ia masih kecil sehingga kemudian dirawat oleh keluarganya. Ia kemudian belajar Al-Quran dan dasar-dasar membaca (qiraah) dan menulis (kitabah) kepada Hamud bin Sulaiman at-Tala’al, yaitu seorang Qari yang mutqin dan imam masjid di kotanya yang kemudian menjadi hakim di Kota Dar'iyyah di Provinsi Qasim.[5]

Ia kemudian masuk ke sekolah negeri yang baru dibuka di Syamasiyah pada tahun 1369 H, kemudian menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Faishaliyah di Buraidah pada tahun 1371 H. Disana ia ditetapkan sebagai pengajar di sekolah dasar tersebut. Setelahnya ia masuk ke Ma’had Al-‘Ilmi di Buraidah ketika baru dibuka pada tahun 1373 H, hingga lulus pada tahun 1377 H. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh hingga lulus pada tahun 1381 H. Setelah itu melanjutkan kuliah hingga meraih gelar Magister dalam bidang fiqih, lalu juga gelar Doktoral pada universitas yang sama pada bidang fiqih.[2]

Jabatan
Setelah kelulusannya dari Fakultas Syari’ah, ia ditugaskan sebagai dosen di institut pendidikan di Riyadh, kemudian beralih menjadi pengajar di Fakultas Syari’ah. Selanjutnya, ditugaskan mengajar di departemen yang lebih tinggi, yaitu Fakultas Ushuluddin. Selanjutnya ia ditugasi untuk mengajar di mahkamah agung kehakiman, di mana ia ditetapkan sebagai ketua. Dan kembali mengajar di sana setelah periode kepemimpinannya berakhir. Dia kemudian menjadi anggota Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam (Kibaril Ulama) hingga saat ini.

DR. Shalih Al-Fauzan adalah anggota ulama besar (kibar), dan anggota komite bidang fiqih di Mekkah (cabang Rabithah), dan anggota komite untuk pengawas tamu haji, sembari juga mengetuai keanggotaan pada Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam. Selain itu ia juga merupakan imam, khatib, dan dosen di masjid Pangeran Mut’ib ibn Abdul Aziz di Al-Malzar.

Ia mengasuh acara tanya-jawab di program radio “Noorun ‘alad-Darb”, sambil dia juga ikut serta dalam mendukung anggota penerbitan penelitian Islam di dewan untuk penelitian, studi, tesis, dan fatwa Islam yang kemudian disusun dan diterbitkan. Dia juga ikut serta dalam mengawasi peserta tesis yang sedang menempuh gelar master dan gelar doktor.

Guru-guru dan murid-muridnya
DR. Shalih Fauzan telah mengambil ilmu dari banyak ulama (masyaikh) besar ahli fiqih, yang terkenal diantaranya:

  1. Abdul Aziz bin Baaz
  2. Abdullah bin Humaid, Al-Fauzan dahulu rutin menghadiri pengajiannya di Buraidah.
  3. Muhammad al Amin asy-Syinqithi
  4. Abdurrazaq Afifiy
  5. Shalih bin Abdurrahman As-Sukaiti
  6. Shalih bin Ibrahim Al-Bulaihi
  7. Muhammad bin Subail
  8. Abdullah bin Shalih Al-Khulaifi
  9. Ibrahim bin Ubaid al-Abdul Muhsin
  10. Hamud bin Aqlan
  11. Ali’ An-Nashir

Dia juga belajar pada beberapa ulama Al Azhar Mesir pada bidang hadits, tafsir dan bahasa arab.
Dia juga belajar pada sejumlah ulama dari Universitas Al-Azhar Mesir yang mumpuni dalam bidang hadist, tafsir, dan bahasa Arab.
Dia tentunya juga mempunyai banyak murid dari berbagai penjuru dunia yang menimba ilmu pada pertemuan dan pelajaran tetapnya, termasuk dari Indonesia. Yang terdekat diantaranya adalah Dzulqarnain M. Sunusi Al-Makassari.

Karya tulis

Kitab penjabaran hadits Jibril oleh DR. Shalih Fauzan
Shalih Fauzan telah memiliki andil yang banyak dalam penerbitan riset-riset penelitian Islam dan sebagian telah dibukukan. Dia mengarang dalam jumlah besar yang diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, di antara karya tulisnya adalah:

  1. At-Taḥqīqāt al-Marḍiyyah Fil-mabāhits al-Farḍiyyah; ini merupakan tesis untuk gelar magister
  2. Aḥkām al-Ath‘imah fīl-Syarī‘ah al-Islāmiyyah; ini merupakan tesis untuk gelar doktoral
  3. Al-Irsyād ilā Shahīhil-I‘tiqād
  4. Syarḥ al-‘Aqīdah al-Wāsiṭiyyah
  5. Al-Bayān fī Mā Akhta’a fīhi Ba‘ḍil-Kitāb
  6. Majmū‘ Muhāḍarāt fi al-‘Aqīdah wad-Da‘wah
  7. Al-Khuṭab al-Minbariyyah fi al-Munāsabāt al-‘Aṣriyyah
  8. Min A‘lām al-Mujaddiddīn fi al-Islām
  9. Rasā’il fi Mawādhī’ Mukhtalifah
  10. Majmū’ Fatāwā fi al-‘Aqīdah wal-Fiqh; yang diambil dari program radionya Nuurun ‘Ala Ad Darb dan dibukukan menjadi empat jilid
  11. Naqd Kitāb al-Halāl wal-Ḥarām fi al-Islām
  12. Syarḥ Kitāb al-Tauḥīd
  13. Al-Ta‘qīb ‘Ala Mā Żakarahu al-Khāṭib
  14. Mulākhaṣ al-Fiqh
  15. Itḥāf Ahli al-Īmān bi-Durūs Syahr Ramadhan
  16. Aḍ-Ḍiyā’ al-Lāmi‘ min al-Aḥādīṡ al-Qudsiyyah al-Jawāmi‘
  17. Bayānu Mā Yaf‘aluhu al-Ḥājj wal-Mu‘tamir
  18. Kitāb al-Tauḥīd; ada dua jilid yang diperuntukan bagi madrasah tsanawiyah
  19. Fatāwā wal-Maqālāt, yang disebarluaskan oleh majalah Ad Da’wah atau yang dikenal dengan Kitab Ad Da’wah
  20. Syarḥ Ḥadīts Jibrīl, dan lain-lain.


Sumber Wikipedia

mau Ebook salah satu karya beliau klikhdownload kitab
Share:

Kitab Syarhus Sunnah

Hasil gambar untuk syarhus sunnahSyarhus Sunnah (bahasa Arab: شرح السنة‎) adalah kitab akidah ahlus sunnah yang ditulis oleh Imam Al-Barbahari (w. 329 H).[1] Kitab klasik ini memuat 170 poin pada berbagai aspek mengenai keyakinan umat Islam, dengan memberikan rujukan kutipan dari Al-Qur'an, Sunnah, para sahabat dan ulama.[2] Kitab ini terkenal dengan kalimat di bagian awalnya "Islam adalah Sunnah[3], dan Sunnah adalah Islam".[4]

Kitab Syarh as-Sunnah karya Imam Barbahari ini terdaftar dalam Tabaqat al-Hanabilah (2/18) (daftar tokoh dan kitab mazhab Hambali) milik Ibnu Abu Ya'la, dan tersedia dalam bentuk manuskrip pada perpustakaan Al-Maktabah adz-Dzahiriyyah di Damaskus dengan tulisan tangan oleh Abul Qasim Ubaidillah bin Hamzah (w. 550H), dan dianggap berasal dari Al-Barbahari oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab "Bughyatul Murtad", oleh Adz-Dzahabi dalam "al-Uluww" dan "Tarikh al-Islam", dan "Siyar Alamin Nubala", juga oleh Ibnu Muflih dalam "Al-Furu" dan "Al-Adab asy-Syari'ah", dan juga dengan As-Safadi dalam "Al-Wafi bil-Wafayat", dan Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari", dan oleh Ibnul Imad di "Syadharaat adz-Dzahab".[1] (sumber wikipedia).

Mau ebooknya silahkan download di   download

Semoga Bermanfaat
Share:

RADIO DAKWAH

Recent Posts

Pages